Kamis, 24 April 2008

Kars Maros Pangkep

Oleh : Rachman Kurniawan
Sulawesi Selatan memiliki kawasan kars yang terletak di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep (Kawasan Kars Maros-Pangkep, KKMP) yang telah menjadi salah satu kawasan yang direkomendasikan untuk diperhatikan oleh pemerintah dalam the Asia-Pacific Forum on Karst Ecosystems and World Heritage pada tahun 2001 di Sarawak, Malaysia. Kawasan ini merupakan singkapan batugamping yang luas di daerah Sulawesi Selatan, antara Pangkajene dan Maros, membentuk tipe kars tersendiri. Bukit-bukit berlereng terjal (yang sebagian besar genesanya dipengaruhi oleh struktur geologi, sebelum diperlebar dan diperluas oleh proses pelarutan atau karstifikasi) membentuk bangun menara yang sangat khas (karst tower). Di antara bukit-bukit tersebut membentang dataran, dengan permukaannya yang rata. Oleh penduduk setempat, dataran kars tersebut didayagunakan menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Bukit-bukit menara tersebut sejenis dengan yang ada di Cina Selatan dan Vietnam (Samodra 2001). Selain menjadi lahan pertanian dan lahan penambangan, kawasan ini memiliki hutan lindung, areal pariwisata, situs-situs arkelogi, beberapa jenis fauna endemik, serta sistem hidrologi bawah permukaan yang khas.

Saat ini kawasan ini sedang mengalami tekanan yang cukup berat, karena usaha pertambangan batugamping untuk semen dan industri lainnya. Kawasan kars ini memiliki semua nilai strategis yang disebutkan di atas yang pada kenyataannya memiliki tarik-ulur kepentingan dalam pemanfaatannya. Selain itu, era otonomi daerah diprakirakan mendorong pengelolaan kawasan secara parsial berbasis batas administratif bukan batas ekologis. Kawasan seluas sekitar 40.000 hektar ini telah terbagi dua menjadi 20.000 hektar areal budidaya dan sisanya, 20.000 hektar menjadi bagian dari 43.750 hektar kawasan konservasi Taman Nasional Bantimurung – Bulusaraung (TNBB). Penambangan kars yang dilakukan di Kawasan Kars Maros-Pangkep mengancam ketersediaan air tanah di sekitar kawasan karst (Bappenas 2006). Berdasarkan data Bapedal Regional III, saat ini aktivitas penambangan kapur oleh dua industri semen besar (PT. Semen Tonasa dan PT. Semen Bosowa) dengan luas daerah operasi mencapai 2.354,7 ha. Selain itu, sampai tahun 1998 terdapat 24 perusahan penambangan marmer dengan luas areal eksploitasi 15-25 ha setiap perusahaan. Selain itu, di kawasan yang berpenduduk 250.000 an jiwa ini, kegiatan pertanian, pembersihan vegetasi, dan penebangan masih berlangsung dengan mengabaikan kepentingan konservasi [1]. Di kawasan tersebut cadangan batu gamping, bahan baku semen, diduga sebanyak 11.650 juta ton. Sedangkan marmer di perut Bumi Maros diperkirakan 2.609 juta ton. Marmer Maros terkenal karena variasi warnanya yang sesuai dengan selera pasar. Produknya sudah diekspor ke Singapura dan Malaysia (Adhisumarta 2003). PT Semen Tonasa yang memproduksi 3,5 juta metrik ton semen tiap tahun ini memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pemprov Sulsel rata-rata Rp 500 juta setiap tahunnya.

Selain itu, dari sisi keanekaragaman hayati di Kawasan Kars Maros-Pangkep terdapat 284 jenis tumbuhan dan ratusan jenis kupu-kupu di Bantimurung. Pada kawasan ini dapat ditemui tarsius, kuskus, 2 jenis kelelawar yang merupakan key-stone species yang berfungsi untuk melakukan penyerbukan terhadap sekitar 100 jenis tumbuhan, dan 103 jenis kupu-kupu. Tujuh di antara jenis kupu-kupu ini merupakan serangga endemik, yaitu Papilio blumei, P. polites, P. satapses, Troides haliptron, T. helena, T. hypolites, dan Graphium androcles [2]. Bahkan pada kawasan wisata alam Bantimurung yang pernah dijuluki sebagai Kingdom of The Butterfly, menurut Baharuddin dari BKSDA Sulsel pada tahun 1960-an masih terdapat sekitar 300 spesies kupu-kupu, saat ini hanya tersisa sekitar 135 spesies [3].

Hal ini mendorong perlunya pengelolaan yang komprehensif untuk mengoptimalkan nilai strategis tersebut, tanpa merusak lingkungan pada kawasan tersebut. Pengelolaan komprehensif kawasan tentunya memerlukan input yang komprehensif juga, sebagai bahan pengambilan keputusan. Secara akademis, saat ini setidaknya telah dilakukan berbagai penelitian dalam kawasan ini, yaitu meliputi aspek arkeologi dan biodiversity (Samodra 2001), serta geologi, geokimia (Imran 2004) dan valuasi ekonomi (Gustami dan Waluyo 2002), serta grand-design pengelolaan pada kawasan serupa di Gunung Sewu (Samodra et al. 2005). Secara umum telah diterbitkan Keputusan Menteri tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars (Departemen ESDM 2000) dan buku tentang Potensi dan Pengelolaan Lingkungan Kawasan Kars di Indonesia (Kasri et al. 1999). Secara khusus, belum dilakukan riset mendalam guna memutuskan model pengelolaan Kawasan Kars Maros-Pangkep. Oleh karena itu, penelitian secara komprehensif tentang hal itu diharapkan akan sangat bermanfaat bagi kelangsungan ekosistem kars tersebut, baik secara ekonomis, ekologis maupun sosial.



[1] Anonim. Selasa, 13 November 2001. Perlu Pemetaan Potensi Karst Maros-Pangkep. Kompas Cyber Media. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0111/13/DAERAH/perl20.htm. [19 Juni 2006]
[2] KLH. 2006. Ekosistem Karst; SLHI Pil 4. http://72.14.203.104/search?q=cache:vnkAKC9UU9YJ:www.menlh.go.id/i/bab6%2520Ke... [12 Juni 2006]
[3] Mapong, S.R. Kamis, 16 Maret 2006. Potensi 'Kerajaan Kupu-Kupu' Bantimurung Kurang Tergarap. Jurnal Celebes Online; Jaringan Jurnal Advokasi Lingkungan. http://www.jurnalcelebes.com/view.php?id=74&jenis=jurnal_utama [2 Desember 2006]

Tidak ada komentar: