Sabtu, 03 Mei 2008

Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars dan Pembangunan Berkelanjutan

Oleh : Rachman Kurniawan
PENDAHULUAN
SK Menteri ESDM Nomor 1456 K/20/MEM/2000 ini diterbitkan pada tanggal 3 November 2000 untuk menggantikan SK Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) Nomor 1518 K/20/MPE/1999 tentang Pengelolaan Kawasan Kars yang baru berumur sekitar 1 tahun 2 bulan. SK Mentamben Nomor 1518 K/20/MPE/1999 terbit sebelumnya pada tanggal 29 September 1999.
SKM ini terdiri dari 10 Bab yang terdiri dari 23 pasal, tersusun sebagai berikut :
o Bab I Ketentuan Umum (1 pasal)
o Bab II Tujuan dan Sasaran (1 pasal)
o Bab III Nilai Kawasan Kars (1 pasal)
o Bab IV Inventarisasi dan Penetapan Kawasan Kars (3 pasal)
o Bab V Penyelidikan dan Penetapan Klasifikasi Kawasan Kars (7 pasal)
o Bab VI Pemanfaatan dan Perlindungan Kawasan Kars (3 pasal)
o Bab VII Pembinaan dan Pengawasan (3 pasal)
o Bab VIII Biaya (1 pasal)
o Bab IX Ketentuan Peralihan (1 pasal)
o Bab X Ketentuan Penutup (1 pasal)
TINJAUAN ULANG SKM ESDM No. 1456 K/20/MEM/2000
Penerbitan kebijakan dalam bentuk pemberlakuan SKM Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars ini merupakan representasi mulai tumbuhnya kesadaran akan arti penting kawasan kars di pihak pemerintah. Hal ini bisa dilihat dari Departemen yang memberlakukan kebijakan ini, yaitu Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Departemen ESDM biasanya memiliki ‘image’ sebagai representasi sektor pemanfaat kawasan kars sebagai lahan tambang. Indikator ini menunjukkan kuatnya keinginan pemerintah di tingkat pusat untuk memberikan pedoman pengelolaan sumberdaya alam (kawasan kars) secara lebih terarah. Padahal biasanya SKM yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup diberlakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
Meskipun demikian, kesadaran ini diperkirakan bukan murni muncul dengan sendirinya dari inisiatif pihak pemerintah. Kesadaran ini juga dipengaruhi oleh dorongan kuat dari masyarakat pemerhati kars dunia yang menyorot secara khusus 4 kawasan kars di Indonesia yang memiliki peringkat dunia karena kandungan nilai strategisnya. Para ilmuwan serta pemerhati lingkungan kars dan gua internasional menetapkan dari aspek bentang alam kawasan conical karst di Gunung Sewu (Jawa), tower karst di Maros (Sulawesi), archeological karst di Sangkulirang (Kalimantan Timur), dan highland karst di Taman Nasional Lorentz (Irian Jaya) sebagai kawasan kars kelas dunia. Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan banyaknya keanekaragaman hayati yang terkandung dalam kawasan kars. Kondisi ini mendorong pemerintah memberlakukan SKM tersebut. Sebagai hasilnya, setahun setelah diberlakukan SKM ini, pada pertemuan IUCN (International Union for Conservation of Nature) di Mulu, Serawak, tahun 2001 menominasikan keempat kawasan kars tersebut menjadi kawasan alam warisan dunia atau world heritage (Samodra 2001).
Secara temporal, pemberlakuan SKM ini yang menggantikan SKM sebelumnya hanya dalam jangka waktu 1 tahun lebih menjadi indikator kurang kuatnya konsep yang diberlakukan. Perbaikan isi SKM diharapkan akan menjadikan SKM yang baru lebih mampu mengakomodasikan seluruh elemen, baik aktor (para pihak, stakeholders), faktor dan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan kars. Kelengkapan elemen ini diharapkan mampu mendorong implementasi pengelolaan kawasan kars oleh semua pihak di lapangan. Kemudahan implementasi ini selain akan mendukung konsep pembangunan berkelanjutan, juga akan melestarikan SKM ini sendiri untuk tidak harus diperbaharui dalam jangka waktu yang singkat.
Berdasarkan muatan yang terkandung dalam SKM ini, secara eksplisit terdapat tujuan dan sasaran untuk menunjang pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (pasal 2). Hal ini masih perlu diuji kecukupannya melalui 3 kriteria pokok konsep pembangunan berkelanjutan (Manuwoto 2006), yaitu kesetaraan (equity), jangkauan ke depan (futurity) dan valuasi lingkungan (environmental valuation). Jangkauan ke masa depan bisa diakomodasi pada adanya upaya pelestarian (pasal 2) dan pembagian kelas kawasan (pasal 11, 12, 13, dan 14) yang memberikan pedoman untuk mengkonservasi kawasan dengan syarat tertentu. Hal ini berupa larangan melakukan aktivitas penambangan pada kelas kawasan tersebut (kawasan kars kelas I, pasal 14). Hal ini berimplikasi pada perlindungan nilai ekonomi, ilmiah dan kemanusiaan terutama pada fungsi hidrologis, biodiversitas, cagar budaya, dan wisata, yang bermanfaat di masa yang akan datang.
Berdasarkan prinsip kesetaraan, masih terdapat dominasi pihak pemerintah dalam melakukan inventarisasi (pasal 4) dan menentukan kelas kawasan (pasal 10). Eksistensi pejabat pemerintah, seperti Menteri, Dirjen, Gubernur, Bupati/Walikota dan pimpinan instansi terkait secara eksplisit dikemukakan. Sementara masyarakat hanya disebut secara implisit sebagai pimpinan organisasi profesi atau pihak lain yang bergerak di bidang kars. Aturan ini cenderung mengadopsi kebijakan yang bersifat top-bottom dan kurang berpihak pada sistem bottom-up. Masyarakat biasa juga yang beraktifitas (tinggal atau bekerja) di sekitar dan dalam kawasan kars belum terakomodasi sebagai pihak yang memiliki kesetaraan. Apalagi jika aktifitasnya tidak dikategorikan sebagai aktifitas yang bergerak di bidang kars (pasal 4). Hal ini diperkirakan akan berimplikasi pada kurangnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan kars. Padahal biasanya kawasan ini memiliki topografi yang sulit serta areal yang luas. Pengawasan akan sulit dilakukan oleh pihak pemerintah semata, tanpa partisipasi pihak lain, terutama masyarakat.
Berdasarkan prinsip valuasi lingkungan, masih dirasakan kurang jelasnya nilai lingkungan yang akan dikelola. Hal ini terlihat dari tidak adanya perhitungan ekonomis sebagai aspek penting yang perlu dilakukan dalam penyelidikan di kawasan kars (pasal 8 dan 9). Keberadaan fungsi hidrologis, biodiversitas, budaya dan wisata, sesungguhnya memiliki fungsi jasa lingkungan (environmental service) yang sangat besar. Besaran ini bisa dijadikan sebagai salah satu alasan pentingnya nilai kawasan kars yang bisa diperhitungkan secara akademis melalui valuasi lingkungan (Gustami dan Waluyo 2002).
Selain itu masih terdapat ketidaksempurnaan dalam hal resolusi teknis. Misalnya pada penentuan besaran skala peta yang masih bersifat regional (pasal 4, 8 dan 9). Hal ini diperkirakan akan menyulitkan pemecahan masalah pada luasan kecil yang tidak mampu diakomodasi oleh resolusi peta tersebut.
Semua hal yang diperkirakan sebagai ketidaksempurnaan tersebut masih bisa ditutupi oleh peraturan pelaksanaan pada tingkat yang lebih teknis (pasal 22). Peluang ini seharusnya ditindaklanjuti oleh ketentuan pada tingkat Dirjen dan diharapkan memberikan juga peluang penyempurnaan pada tingkat di bawahnya. Hal yang dirasakan perlu adalah penyempurnaan, kejelasan dan konsistensi peraturan pada tingkat pelaksanaan di daerah (DT II). Mengingat adanya fenomena otonomi daerah yang saat ini berhembus kuat. Saat ini diperlukan goodwill dari pihak regulator di lapangan (pemda) yang merujuk pada pedoman pengelolaan kawasan kars pada SKM ini.

PENUTUP
Pemberlakuan SKM No. 1456 K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars merupakan upaya untuk menunjang pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. SKM ini telah memberikan pedoman umum pengelolaan kawasan kars yang diharapkan mampu ditindaklanjuti oleh para pihak di tataran pelaksanaan. Meskipun demikian masih terdapat beberapa hal yang bisa disempurnakan guna mempermudah implementasi di lapangan. Penyempurnaan pada tataran pelaksanaan masih memerlukan goodwill dari pihak pemerintah daerah guna menindaklanjuti SKM tersebut.