Selasa, 02 September 2008

Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan Kawasan Karst Maros-Pangkep

(Dipresentasikan pada Indonesian Scientific Karst Forum #1 di UGM Yogyakarta pada tanggal 19-20 Agustus 2008)

ABSTRAK

Kawasan Karst Maros-Pangkep (KKMP) yang memiliki tipe karst menara (tower karst) yang sangat khas terletak di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan merupakan salah satu kawasan karst yang direkomendasikan menjadi kawasan warisan dunia (natural world heritage). Umumnya kawasan ini dan kawasan karst lainnya secara ekonomi dikenal sebagai kawasan yang memiliki potensi bahan galian untuk bahan bangunan dan bahan baku semen. Sesungguhnya kawasan ini juga memiliki potensi ekonomi lain yang tidak kalah penting, yaitu nilai jasa lingkungan (environmental services) seperti sumberdaya air, keanekaragaman hayati, keunikan bentang alam, obyek wisata alam, situs arkeologi dan areal peribadatan. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung nilai ekonomi total (total economic value) dari sebagian jasa lingkungan yang berasal dari kawasan ini. Data pendukung diperoleh dari BPS, Dinas Pariwisata, PDAM, Dinas PSDA, Dinas Pertambangan dan Energi serta Balai Taman Nasional Bantimurung – Bulusaraung. Data spasial diperoleh dari Bakosurtanal serta Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral diolah dan dikombinasikan dengan data pendukung menggunakan analisis spasial dalam Sistem Informasi Geografis (SIG). Survey lapangan dan pengambilan sampel masyarakat sebanyak 100 responden yang dilakukan di 15 dusun dari 9 desa dalam 5 kecamatan di sekitar KKMP. Selain itu dilakukan pengambilan sampel pengunjung tempat rekreasi Bantimurung, Taman Wisata Alam Gua Pattunuang dan Tempat Pra Sejarah Sumpang Bita sebanyak 75 responden. Valuasi ekonomi sebagian jasa lingkungan KKMP setiap tahunnya menggunakan pendekatan perhitungan nilai guna langsung (direct use value) sebesar Rp. 1.199.918.615.100,- nilai guna tidak langsung (indirect use value) sebesar Rp. 808.117.741.600,- dan nilai bukan guna (non use value) sebesar Rp. 64.464.730.000. Nilai ekonomi total dari sebagian jasa lingkungan KKMP setiap tahunnya adalah sebesar Rp. 2.072.501.086.700,-. download selengkapnya (pdf)

Kata kunci : valuasi ekonomi, jasa lingkungan, KKMP

Sabtu, 03 Mei 2008

Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars dan Pembangunan Berkelanjutan

Oleh : Rachman Kurniawan
PENDAHULUAN
SK Menteri ESDM Nomor 1456 K/20/MEM/2000 ini diterbitkan pada tanggal 3 November 2000 untuk menggantikan SK Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) Nomor 1518 K/20/MPE/1999 tentang Pengelolaan Kawasan Kars yang baru berumur sekitar 1 tahun 2 bulan. SK Mentamben Nomor 1518 K/20/MPE/1999 terbit sebelumnya pada tanggal 29 September 1999.
SKM ini terdiri dari 10 Bab yang terdiri dari 23 pasal, tersusun sebagai berikut :
o Bab I Ketentuan Umum (1 pasal)
o Bab II Tujuan dan Sasaran (1 pasal)
o Bab III Nilai Kawasan Kars (1 pasal)
o Bab IV Inventarisasi dan Penetapan Kawasan Kars (3 pasal)
o Bab V Penyelidikan dan Penetapan Klasifikasi Kawasan Kars (7 pasal)
o Bab VI Pemanfaatan dan Perlindungan Kawasan Kars (3 pasal)
o Bab VII Pembinaan dan Pengawasan (3 pasal)
o Bab VIII Biaya (1 pasal)
o Bab IX Ketentuan Peralihan (1 pasal)
o Bab X Ketentuan Penutup (1 pasal)
TINJAUAN ULANG SKM ESDM No. 1456 K/20/MEM/2000
Penerbitan kebijakan dalam bentuk pemberlakuan SKM Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars ini merupakan representasi mulai tumbuhnya kesadaran akan arti penting kawasan kars di pihak pemerintah. Hal ini bisa dilihat dari Departemen yang memberlakukan kebijakan ini, yaitu Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Departemen ESDM biasanya memiliki ‘image’ sebagai representasi sektor pemanfaat kawasan kars sebagai lahan tambang. Indikator ini menunjukkan kuatnya keinginan pemerintah di tingkat pusat untuk memberikan pedoman pengelolaan sumberdaya alam (kawasan kars) secara lebih terarah. Padahal biasanya SKM yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup diberlakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
Meskipun demikian, kesadaran ini diperkirakan bukan murni muncul dengan sendirinya dari inisiatif pihak pemerintah. Kesadaran ini juga dipengaruhi oleh dorongan kuat dari masyarakat pemerhati kars dunia yang menyorot secara khusus 4 kawasan kars di Indonesia yang memiliki peringkat dunia karena kandungan nilai strategisnya. Para ilmuwan serta pemerhati lingkungan kars dan gua internasional menetapkan dari aspek bentang alam kawasan conical karst di Gunung Sewu (Jawa), tower karst di Maros (Sulawesi), archeological karst di Sangkulirang (Kalimantan Timur), dan highland karst di Taman Nasional Lorentz (Irian Jaya) sebagai kawasan kars kelas dunia. Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan banyaknya keanekaragaman hayati yang terkandung dalam kawasan kars. Kondisi ini mendorong pemerintah memberlakukan SKM tersebut. Sebagai hasilnya, setahun setelah diberlakukan SKM ini, pada pertemuan IUCN (International Union for Conservation of Nature) di Mulu, Serawak, tahun 2001 menominasikan keempat kawasan kars tersebut menjadi kawasan alam warisan dunia atau world heritage (Samodra 2001).
Secara temporal, pemberlakuan SKM ini yang menggantikan SKM sebelumnya hanya dalam jangka waktu 1 tahun lebih menjadi indikator kurang kuatnya konsep yang diberlakukan. Perbaikan isi SKM diharapkan akan menjadikan SKM yang baru lebih mampu mengakomodasikan seluruh elemen, baik aktor (para pihak, stakeholders), faktor dan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan kars. Kelengkapan elemen ini diharapkan mampu mendorong implementasi pengelolaan kawasan kars oleh semua pihak di lapangan. Kemudahan implementasi ini selain akan mendukung konsep pembangunan berkelanjutan, juga akan melestarikan SKM ini sendiri untuk tidak harus diperbaharui dalam jangka waktu yang singkat.
Berdasarkan muatan yang terkandung dalam SKM ini, secara eksplisit terdapat tujuan dan sasaran untuk menunjang pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (pasal 2). Hal ini masih perlu diuji kecukupannya melalui 3 kriteria pokok konsep pembangunan berkelanjutan (Manuwoto 2006), yaitu kesetaraan (equity), jangkauan ke depan (futurity) dan valuasi lingkungan (environmental valuation). Jangkauan ke masa depan bisa diakomodasi pada adanya upaya pelestarian (pasal 2) dan pembagian kelas kawasan (pasal 11, 12, 13, dan 14) yang memberikan pedoman untuk mengkonservasi kawasan dengan syarat tertentu. Hal ini berupa larangan melakukan aktivitas penambangan pada kelas kawasan tersebut (kawasan kars kelas I, pasal 14). Hal ini berimplikasi pada perlindungan nilai ekonomi, ilmiah dan kemanusiaan terutama pada fungsi hidrologis, biodiversitas, cagar budaya, dan wisata, yang bermanfaat di masa yang akan datang.
Berdasarkan prinsip kesetaraan, masih terdapat dominasi pihak pemerintah dalam melakukan inventarisasi (pasal 4) dan menentukan kelas kawasan (pasal 10). Eksistensi pejabat pemerintah, seperti Menteri, Dirjen, Gubernur, Bupati/Walikota dan pimpinan instansi terkait secara eksplisit dikemukakan. Sementara masyarakat hanya disebut secara implisit sebagai pimpinan organisasi profesi atau pihak lain yang bergerak di bidang kars. Aturan ini cenderung mengadopsi kebijakan yang bersifat top-bottom dan kurang berpihak pada sistem bottom-up. Masyarakat biasa juga yang beraktifitas (tinggal atau bekerja) di sekitar dan dalam kawasan kars belum terakomodasi sebagai pihak yang memiliki kesetaraan. Apalagi jika aktifitasnya tidak dikategorikan sebagai aktifitas yang bergerak di bidang kars (pasal 4). Hal ini diperkirakan akan berimplikasi pada kurangnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan kars. Padahal biasanya kawasan ini memiliki topografi yang sulit serta areal yang luas. Pengawasan akan sulit dilakukan oleh pihak pemerintah semata, tanpa partisipasi pihak lain, terutama masyarakat.
Berdasarkan prinsip valuasi lingkungan, masih dirasakan kurang jelasnya nilai lingkungan yang akan dikelola. Hal ini terlihat dari tidak adanya perhitungan ekonomis sebagai aspek penting yang perlu dilakukan dalam penyelidikan di kawasan kars (pasal 8 dan 9). Keberadaan fungsi hidrologis, biodiversitas, budaya dan wisata, sesungguhnya memiliki fungsi jasa lingkungan (environmental service) yang sangat besar. Besaran ini bisa dijadikan sebagai salah satu alasan pentingnya nilai kawasan kars yang bisa diperhitungkan secara akademis melalui valuasi lingkungan (Gustami dan Waluyo 2002).
Selain itu masih terdapat ketidaksempurnaan dalam hal resolusi teknis. Misalnya pada penentuan besaran skala peta yang masih bersifat regional (pasal 4, 8 dan 9). Hal ini diperkirakan akan menyulitkan pemecahan masalah pada luasan kecil yang tidak mampu diakomodasi oleh resolusi peta tersebut.
Semua hal yang diperkirakan sebagai ketidaksempurnaan tersebut masih bisa ditutupi oleh peraturan pelaksanaan pada tingkat yang lebih teknis (pasal 22). Peluang ini seharusnya ditindaklanjuti oleh ketentuan pada tingkat Dirjen dan diharapkan memberikan juga peluang penyempurnaan pada tingkat di bawahnya. Hal yang dirasakan perlu adalah penyempurnaan, kejelasan dan konsistensi peraturan pada tingkat pelaksanaan di daerah (DT II). Mengingat adanya fenomena otonomi daerah yang saat ini berhembus kuat. Saat ini diperlukan goodwill dari pihak regulator di lapangan (pemda) yang merujuk pada pedoman pengelolaan kawasan kars pada SKM ini.

PENUTUP
Pemberlakuan SKM No. 1456 K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars merupakan upaya untuk menunjang pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. SKM ini telah memberikan pedoman umum pengelolaan kawasan kars yang diharapkan mampu ditindaklanjuti oleh para pihak di tataran pelaksanaan. Meskipun demikian masih terdapat beberapa hal yang bisa disempurnakan guna mempermudah implementasi di lapangan. Penyempurnaan pada tataran pelaksanaan masih memerlukan goodwill dari pihak pemerintah daerah guna menindaklanjuti SKM tersebut.

Kamis, 24 April 2008

Kars Maros Pangkep

Oleh : Rachman Kurniawan
Sulawesi Selatan memiliki kawasan kars yang terletak di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep (Kawasan Kars Maros-Pangkep, KKMP) yang telah menjadi salah satu kawasan yang direkomendasikan untuk diperhatikan oleh pemerintah dalam the Asia-Pacific Forum on Karst Ecosystems and World Heritage pada tahun 2001 di Sarawak, Malaysia. Kawasan ini merupakan singkapan batugamping yang luas di daerah Sulawesi Selatan, antara Pangkajene dan Maros, membentuk tipe kars tersendiri. Bukit-bukit berlereng terjal (yang sebagian besar genesanya dipengaruhi oleh struktur geologi, sebelum diperlebar dan diperluas oleh proses pelarutan atau karstifikasi) membentuk bangun menara yang sangat khas (karst tower). Di antara bukit-bukit tersebut membentang dataran, dengan permukaannya yang rata. Oleh penduduk setempat, dataran kars tersebut didayagunakan menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Bukit-bukit menara tersebut sejenis dengan yang ada di Cina Selatan dan Vietnam (Samodra 2001). Selain menjadi lahan pertanian dan lahan penambangan, kawasan ini memiliki hutan lindung, areal pariwisata, situs-situs arkelogi, beberapa jenis fauna endemik, serta sistem hidrologi bawah permukaan yang khas.

Saat ini kawasan ini sedang mengalami tekanan yang cukup berat, karena usaha pertambangan batugamping untuk semen dan industri lainnya. Kawasan kars ini memiliki semua nilai strategis yang disebutkan di atas yang pada kenyataannya memiliki tarik-ulur kepentingan dalam pemanfaatannya. Selain itu, era otonomi daerah diprakirakan mendorong pengelolaan kawasan secara parsial berbasis batas administratif bukan batas ekologis. Kawasan seluas sekitar 40.000 hektar ini telah terbagi dua menjadi 20.000 hektar areal budidaya dan sisanya, 20.000 hektar menjadi bagian dari 43.750 hektar kawasan konservasi Taman Nasional Bantimurung – Bulusaraung (TNBB). Penambangan kars yang dilakukan di Kawasan Kars Maros-Pangkep mengancam ketersediaan air tanah di sekitar kawasan karst (Bappenas 2006). Berdasarkan data Bapedal Regional III, saat ini aktivitas penambangan kapur oleh dua industri semen besar (PT. Semen Tonasa dan PT. Semen Bosowa) dengan luas daerah operasi mencapai 2.354,7 ha. Selain itu, sampai tahun 1998 terdapat 24 perusahan penambangan marmer dengan luas areal eksploitasi 15-25 ha setiap perusahaan. Selain itu, di kawasan yang berpenduduk 250.000 an jiwa ini, kegiatan pertanian, pembersihan vegetasi, dan penebangan masih berlangsung dengan mengabaikan kepentingan konservasi [1]. Di kawasan tersebut cadangan batu gamping, bahan baku semen, diduga sebanyak 11.650 juta ton. Sedangkan marmer di perut Bumi Maros diperkirakan 2.609 juta ton. Marmer Maros terkenal karena variasi warnanya yang sesuai dengan selera pasar. Produknya sudah diekspor ke Singapura dan Malaysia (Adhisumarta 2003). PT Semen Tonasa yang memproduksi 3,5 juta metrik ton semen tiap tahun ini memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pemprov Sulsel rata-rata Rp 500 juta setiap tahunnya.

Selain itu, dari sisi keanekaragaman hayati di Kawasan Kars Maros-Pangkep terdapat 284 jenis tumbuhan dan ratusan jenis kupu-kupu di Bantimurung. Pada kawasan ini dapat ditemui tarsius, kuskus, 2 jenis kelelawar yang merupakan key-stone species yang berfungsi untuk melakukan penyerbukan terhadap sekitar 100 jenis tumbuhan, dan 103 jenis kupu-kupu. Tujuh di antara jenis kupu-kupu ini merupakan serangga endemik, yaitu Papilio blumei, P. polites, P. satapses, Troides haliptron, T. helena, T. hypolites, dan Graphium androcles [2]. Bahkan pada kawasan wisata alam Bantimurung yang pernah dijuluki sebagai Kingdom of The Butterfly, menurut Baharuddin dari BKSDA Sulsel pada tahun 1960-an masih terdapat sekitar 300 spesies kupu-kupu, saat ini hanya tersisa sekitar 135 spesies [3].

Hal ini mendorong perlunya pengelolaan yang komprehensif untuk mengoptimalkan nilai strategis tersebut, tanpa merusak lingkungan pada kawasan tersebut. Pengelolaan komprehensif kawasan tentunya memerlukan input yang komprehensif juga, sebagai bahan pengambilan keputusan. Secara akademis, saat ini setidaknya telah dilakukan berbagai penelitian dalam kawasan ini, yaitu meliputi aspek arkeologi dan biodiversity (Samodra 2001), serta geologi, geokimia (Imran 2004) dan valuasi ekonomi (Gustami dan Waluyo 2002), serta grand-design pengelolaan pada kawasan serupa di Gunung Sewu (Samodra et al. 2005). Secara umum telah diterbitkan Keputusan Menteri tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars (Departemen ESDM 2000) dan buku tentang Potensi dan Pengelolaan Lingkungan Kawasan Kars di Indonesia (Kasri et al. 1999). Secara khusus, belum dilakukan riset mendalam guna memutuskan model pengelolaan Kawasan Kars Maros-Pangkep. Oleh karena itu, penelitian secara komprehensif tentang hal itu diharapkan akan sangat bermanfaat bagi kelangsungan ekosistem kars tersebut, baik secara ekonomis, ekologis maupun sosial.



[1] Anonim. Selasa, 13 November 2001. Perlu Pemetaan Potensi Karst Maros-Pangkep. Kompas Cyber Media. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0111/13/DAERAH/perl20.htm. [19 Juni 2006]
[2] KLH. 2006. Ekosistem Karst; SLHI Pil 4. http://72.14.203.104/search?q=cache:vnkAKC9UU9YJ:www.menlh.go.id/i/bab6%2520Ke... [12 Juni 2006]
[3] Mapong, S.R. Kamis, 16 Maret 2006. Potensi 'Kerajaan Kupu-Kupu' Bantimurung Kurang Tergarap. Jurnal Celebes Online; Jaringan Jurnal Advokasi Lingkungan. http://www.jurnalcelebes.com/view.php?id=74&jenis=jurnal_utama [2 Desember 2006]